Jumat, 20 April 2012

Kartini Modern Indonesia

Ibu kita Kartini
putri sejati...
Putri Indonesia...
Harum Namanya...
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa , pendekar kaumnya...untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini...
Putri yang mulia...sungguh besar cita-citanya...
bagi Indonesia...

Lagu ciptaan WR.Supratman inilah yang menggambarkan sosok Kartini sebagai wanita yang tegar, wanita yang cerdas, wanita yang tak pantang menyerah. Ya,,,,itulah Kartini. Tidak lama lagi, kita akan merayakan hari Kartini, pada tanggal 21 April 2012. Sudah tradisi di Indonesia, disetiap sekolah-sekolah pasti diadakan fashion show kebaya, pemilihan dimas-diajeng tingkat sekolah, atau liat anak-anak TK memakai kebaya. xixixixi... :D
Mari kita ingat lagi sejarah Kartini yang pernah diajarkan kepada kita pada waktu SD dan SMP...
Flash back…Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi[2], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.


Kartini bersama suaminya, R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat (1903).
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Nah…karena kita berada dalam dunia serba modern, kita sebagai kaum hawa akan bertanya-tanya, bagaimana sih menjadi seorang “KARTINI MODERN” ?
Untuk itu, menurut Mooryati Soedibyo wanita Indonesia itu harus memiliki 9 sifat (9T) yaitu:

1. Toto atau pengaturan yang baik.
Wanita harus dapat mengatur dan mengembangkan hidupnya secara teratur dengan selalu memiliki rencana tentang apa yang akan diraih selanjutnya.

2. Titi atau akurat.
Dalam mencapai keinginannya, wanita harus memperhitungkan secara akurat kemampuannya.

3. Titis atau mengena.
Wanita harus merealisasikan keinginannya sesuai dengan tujuan.

4. Tatak atau berani.
Wanita tidak boleh takut dalam menghadapai tantangan jaman, dan takut terhadap persaingan antara wanita dan pria.

5. Tatas atau efektif.
Selalu melakukan sesuatu dengan pemikiran yang luas dan rencana yang kuat.

6. Tetep atau konsisten.
Dalam menjalankan kehidupan atau bisnisnya, wanita harus konsisten dan tidak boleh cepat bosan dan putus asa.

7. Tanggap atau responsif.
Wanita harus selalu tanggap dalam melihat berbagai macam peluang yang dimilikinya. Jangan sampai terlewat satu pun.

8. Teguh.
Wanita harus memiliki keyakinan yang kuat dan tidak dapat diombang-ambingkan dengan kondisi.

9. Trengginas.
Wanita harus aktif, terampil, dan lincah.

Dari segi perundang-undangan sendiri, menurut Menteri Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak, Linda Agum Gumelar, saat ini sudah mulai mempertimbangkan hak-hak wanita. "Kita boleh bersyukur karena sekarang di dalam undang-undang tidak ada batasan antara wanita dengan pria," ujarnya pada kesempatan yang sama.


Namun, fakta menunjukkan masih banyak wanita Indonesia yang jauh tertinggal dari pria. Menurut Linda, salah satu faktor penghambat perkembangan wanita Indonesia adalah masih kentalnya budaya partriarki di beberapa daerah di Indonesia.

"Masalah yang masih kita hadapi adalah budaya partriarki yang masih kuat di beberapa daerah sehingga tidak memberikan ruang terhadap wanita untuk beraktivitas selain aktivitas rumah tangga," ujarnya. (sj)


source :
http://kosmo.vivanews.com/news/read/216110-9-kriteria-kartini-modern
http://wikipedia.com

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates